25 Mar 2010

Mengintip Model Bisnis Aplikasi Operator














Kini eranya serba bundling, tak hanya bundling produk, layanan aplikasi pun dibungkus dalam skema tarif bundling yang memikat. Operator untung, pelanggan juga puas



Dampak krisis ekonomi tentu dirasakan langsung operator, dimana daya beli pelanggan menurun yang berimbas pada belanja pulsa, dan ujung-ujungnya ARPU (average revenue per user) operator stagnan, bahkan cenderung turun. Padahal disisi lain, biaya investasi dan beban operasional terus meningkat akibat inflasi global.

Tentu operator punya beragam strategi untuk mempertahankan dan meningkatkan pendapatan, salah satunya dengan mengoptimalkan value addes service business model. Dalam perspektif ini bisa dilihat kaitan kerjasama antara operator, CP (content provider) dan bundling produk. Bundling produk terbilang paling laris saat ini, hampir semua vendor ponsel dan CP saling giat untuk merapat di jalur bundling, terutama dengan operator selular kelas atas.











Ada beragam tipe bundling, seperti bundling produk, bundling layanan, dan bundling produk plus layanan. Contoh paling populer seperti skema paket BlackBerry, dimana mencakup bundling produk dan layanan secara terpadu. Kini operator umumnya mendorong bundling yang mampu menggiatkan trafik data. Untuk itu tiap bundling produk disertai paket aplikasi. Menurut informasi dari white paper Ericsson ”Unlocking The Value of Operator Assets” yang dirilis bulan Oktober 2009, terdapat 3 model bisnis yang bisa dilakukan operator terkait aplikasi. Pilihan model bisnis diantaranya adalah market centric, operator centric, dan device centric.

Bila diperhatikan pada tabel, model market centric adalah yang paling populer diterapkan di dunia, dan juga di Tanah Air. Alasannya sederhana, market centric paling banyak menghasilkan keuntungan. Pada market centric terdapat peran agregator sebagai pengumpul lisensi konten. Berkat adanya agregator atau disebut juga broker, operator lebih mudah mengatur pola kerjasama dengan CP. Hal ini umum dijumpai dalam pemasaran konten berupa game dan SMS premium. Singkat kata di model ini operator dan agregator membuat sebuah ekosistem layanan yang bisa digunakan lintas operator dan jenis ponsel.

Ada lagi yang lebih canggih, CP yang menciptakan aplikasi gabungan. Salah satunya yang terkenal dari dalam negeri adalah Mobinity. Aplikasi ini menyajikan paduan layanan mulai dari jejaring sosial, update berita, dan chatting. ”Kini sedang tren aplikasi chat dan jejaring sosial, selain ada agregator juga dikenal istilah integrator, di integrator peran CP hanya mengumpulkan beberapa channel, contohnya seperti eBuddy, Palringo, dan Mig33 yang menyediakan multi akun chatting,” ujar Antonius Aditya, praktisi dan developer dari Yogyakarta. Menurut Aditya, konsep aplikasi integrator cocok untuk CP baru guna menarik pelanggan dalam jumlah besar.

Model bisnis kedua, operator centric. Disini aplikasi hanya dirancang untuk berjalan di operator tertentu tapi dapat berjalan lintas merek ponsel. Contoh pada aplikasi embedded, seperti I-go Indosat, My Pulau dan Chatbox Telkomsel. Operator disini mendapat keuntungan lebih sedikit dibanding market centric, sebab hanya berperan sebagai reseller.

Dan model bisnis ketiga, device centric, pada model ini aplikasi hanya berjalan untuk sebuah merek ponsel. Contohnya BlackBerry messenger, Nokia messenger, dan Esia Messenger. Pada model ini operator mendapat keuntungan paling sedikit, sebab peran operator sebatas penyedia jaringan mobile broadband.

Diperkirakan 3 model bisnis aplikasi ini akan terus berkembang sesuai porsi pasarnya. Selain operator yang tak ingin kapasitas jaringannya idle, pihak vendor jaringan nyatanya terus gencar menawarkan solusi teknologi dan pinjaman dana ke operator guna pengembangan aplikasi. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Tidak ada komentar: